Sebutan paling populer untuk penari perempuan atau ledhek tadi adalah "si penari ronggeng" atau waranggana. Entah bagaimana sejarah muncul dan berkembangnya ronggeng tersebut, ahli sejarah seni tentu lebih tahu. Akan tetapi, satu fenomena seragam yang apabila terdengar kata ronggeng di telinga khalayak, maka yang muncul adalah citra dan cerita negatif tentangnya.
Ronggeng seringkali diasosiasikan dan digambarkan sebagai sosok perempuan penari nan "erotis", "bahenol", "genit", dan dipandang sebelah mata karena dianggap "murahan". Tentu gambaran tersebut adalah hasil labelisasi dan stigma yang dilekatkan secara sepihak oleh sebagian masyarakat. Dan saya yakin tidak akan ada perempuan yang mau dan dengan sukarela dicap negatif seperti sebutan diatas. Sebab bukan hanya harga diri atas pribadi yang dinodai, melainkan juga tiadanya pengakuan atas sebuah pekerjaan seni yang menghibur. Ada realitas sosial dimana nilai dan norma masyarakat tidak singkron dengan kehendak bebas anggota masyarakat didalamnya. Akibatnya , lahir sikap mendua. Mau tapi malu, menikmati sekaligus menghujat, dan berbagai ironi lainya, khususnya dalam menyikapi ronggeng sebagai entertainer rakyat.
Ahmad Tohari dalam novel terkenalnya "Ronggeng Dukuh Paruk", menggambarkan sebuah liku kehidupan seorang ronggeng (Srintil) yang menjadi idola di sebuah kampung/dukuh kecil, miskin, dan terpencil. Ronggeng adalah jati diri dan identitas bagi warga pedukuhan itu. Dengan kecantikan dan geol-an tarianya yang menggoda, semua orang jatuh cinta pada ronggeng itu. Mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Klimaksnya, ketika terjadi bencana politik tahun 1965, si ronggeng itu justru selamat karena kecantikanya. Walaupun, dukuh kecil itu harus hancur lebur terbakar akibat stigma politik. Namun, meskipun selamat, ia merasakan hidup dalam kungkungan citra negatif sebagai seorang ronggeng yang sungguh meruntuhkan harkat dan martabat sebagai seorang perempuan.
Gambaran keidupan ronggeng dalam novel tersebut nampaknya bukan hanya fiksi belaka, melainkan memang nyata dalam kehidupan. Dalam bentuk yang lain, cibiran dan pandangan sinis terhadap profesi penerima "saweran" ini masih saja melekat. Bahkan stereotip kelam terhadap seorang ronggeng juga mengarah pada istilah "bunga buruan" yang berfungsi untuk memuaskan hasrat eksploitatif laki-laki. Mereka seolah hanya sekedar sebagai penyemarak belaka. Makna filosofis dari setiap gerakan tari lenyap begitu saja berganti menjadi aura erotis nan kental. Ketika kendang gamelan dibunyikan, dan penari jaipong keluar dengan goyanganya yang menghentak, serentak para kumbang mengerubunginya sambil menghamburkan dan menyelipkan uang hingga kelipatan-lipatan baju sang ronggeng. Terkadang cukup dengan memegang tangan tangan si ronggeng dan menggoyang-goyangkannya. Saweran, prosesiyang menjadi bumbu utama dalam hiburan rakyat ini, menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Semakin banyak saweran yang diterima oleh sang ronggeng maka semakin sukses pertunjukan seorang ronggeng.. Para lelaki merasa "menang", eksis, dan puas, meski tak merasa kantong mereka akhirnya kerontang.
Kondisi seperti diatas, kemudian merambat pada panggung-panggung hiburan yang lain. Orkes dangdut, tardug (gitar-bedug), organ tunggal, dan panggung hiburan yang lain, juga menyebarkan "sawer-isme" masing-masing. Dengan menari dan bergoyang bersama penyanyi dangdut, para lelaki umumnya dengan bangga pula menghamburkan uang mereka. Semakin banyak uang yang dihabiskan, maka semakin menunjukkan status sosial mereka yang tinggi. Terkadang, MC-pun tak segan memanggil para "tokoh" agar maju kedepan, berjoged, dan tentu saja mau "nyawer". Maka tak heran, desas-desus yang muncul dari balik panggung seolah berbunyi "para perempuan penari/penyanyi itu bisa dibeli".
Ada juga wacana agar penari jaipong, dan para rongeng itu agar memakai pakaian menari yang lebih "tertutup" dan "sopan". Wacana ini mungkin niatnya baik, yaitu ingin mengurangi kesan erotis dan "terbuka"yang menimbulkan kesan "eksploitasi" tubuh perempuan hanya demi untuk mengeruk keuntungan materi belaka. Pakaian para ronggeng selama ini juga dinilai sebagian pihak terlalu mengundang syahwat. Akan tetapi, niat baik tidak serta merta tepat sasaran. Ada kekhawatiran jika tradisi lokas yang asli dan sudah diwariskan selama bertahun-tahun ini kana hilang otentitasnya akibat intervensi nilai-nilai dari luar. Sebab, baik atau buruk, benar atau salah, sesungguhnya diukur oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang berbeda satu sama yang lain. Ibarat pepatah, lain ladang lain belalang. Lain masyarakat, lain pula nilai dan norma yang dianutnya. Apa yang dianut sebagai "aib", atau "normal dan abnormal" sebenarnya bukanlah manusia itu sendiri, melainkan hasil dari perspektif atau cara pandangnya.
Mengikuti perkembangan jaman, ronggeng-ronggeng modern termasuk artis dan penyanyi penghibur terutama panggung seni rakyat ternyata juga mewarisi dan merasakan stigma negatif yang sama, yang selama ini melekat pada penari ronggeng tradisional. Tentu saja, melekatkan stigma dan men-judge people by its cover, sungguh sebuah penghakiman sepihak yang tidak adil.
Bagaimanapun panggung depan belakang kehidupan para ronggeng dengan aura kebebasan berekspresi disekitarnya, telah melahirkan konstruksi identitas yang kuat melekat dan sulit untuk diubah. Kebiasaan manggung dan saweran (yang seolah-olah mengukuhkan eksistensi laki-laki diatas perempuan) itulah kehidupan mereka. Dan alasan saweran sebagai lumbung rejeki menguatkan kondisi bahwa mereka harus berjuang lebih keras agar tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat lainya. Wallahua'lam.
0 komentar:
Posting Komentar